Hasil ujian kompetensi guru (UKG) yang dilaksanakan sejak 30 juli sampai 12 Agustus lalu lebih cocok menjadi unjuk kebodohan guru ketimbang unjuk kepiawaian guru. Dari1.610 peserta ujian, ternyata tak sampai 40 persen perserta yang mendapatkan nilai diatas 70.
Secara tidak langsung hasil UKG menyimpulkan bahwa sebagian besar guru tidak layak mengajar karena tak punya kompetensi sebagai pendidik. Hal itu tentu sangat memprihatinkan bagi yang percaya terhadap kualitas UKG. Namun, bagaimana lagi?
Tidak Usah Heran
Walah, tak usah heran atas hasil evaluasi yang dilakukan oleh kementerian pendidikan nasional tersebut. Meski, pelaksanaanya di sana sini banyak kekurangan. Mulai dari minimnya sosialisasi, terputusnya koneksi internet, hingga melanggar peraturan perundangan yang ada. Namun, hasil ujian tersebut merupakan penegasan kembali rendahnya kompetensi guru kita.
Ujian serupa pernah dilaksanakan pada tahun 2004 lalu. Hasilnya, sama-sama memprihatinkan. Kebanyakan guru mengajar tak sesuai dengan kualifikasi ilmunya. Nilai rata-rata mata pelajaran berkisar 18-23. Kompetensi guru TK rata-rata 41,95, sedangkan guru SD 37,82. Ada guru yang mendapat nilai 1 dari skala 100. Nilai tertinggi guru masih di bawah 100, yakni di kisaran 80-97 yang hanya dicapai satu guru pada setiap jenjang.
Jangan salahkan guru kalau berkompetensi rendah. Berapa banyak dari guru yang memang serius menjadi guru sendari awal mengabdikankan diri menjadi pelayan bangsa. Hanya sedikit! Dulu yang namanya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) hanya jurusan buangan. Sebagian besar putra bangsa yang masuk ke sana bukan siswa terbaik. Karena, putra bangsa yang cerdas lebih cenderung memilih jurusan bergengsi di ITB, UI, IPB, dan lain-lain.
Kalau pun sekarang peminat mengalami perubahan, itu dikarenakan peningkatan pendapatan guru. Sejak guru berhak memperoleh tunjangan profesi sebesar sebulan gaji pokok, profesi guru menjadi primadona. Skore masuk beberapa jurusan di Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Negeri Jakarta hampir setara dengan nilai masuk ke universitas terkenal di Indonesia.
Cuma sedihnya, ketika kualitas peminat guru kian bagus malah IKIP mengubah dirinya menjadi universitas. Dengan alasan agar bisa lebih mengembangkan dunia keilmuan, sejak tahun 2000 lalu, 12 IKIP kontan berubah status menjadi universitas. Tentu saja atmosfir belajar di universitas berbeda dengan IKIP. Universitas itu lebih cenderung menciptakan peneliti, akademisi, dan pengembang ilmu pengetahuan. Jika dari keilmuan, alumnus eks-IKIP memang mumpuni, tetapi dari kemampuan mengajar sungguh menyedihkan. Karena, tidak ditunjang ilmu-ilmu pendidikan terbaru. Akibatnya, ketika para guru mengajar, suasana yang terbangun di kelas cenderung pasif dan kaku.
Saya fikir, seorang guru tak perlu sehebat pakar fisika Yohanes Surya yang menguasai berbagai tema fisika yang njlimet. Namun, seorang guru yang kompeten harus bisa menyontoh kemampuan menjelaskan Yohanes Surya yang sangat mudah dicerna dan ditangkap oleh siswa. Bayangkan saja seorang Yohanes Surya bisa menjelaskan materi fisika tanpa menyuruh siswa menghapal rumus. Pakar fisika yang selalu membawa Indonesia menjadi juara olimpiade fisika tingkat dunia itu mampu menerangkan materi fisika dengan menggunakan metode sederhana yang tidak membuat siswa mengapresiasikan bahwa fisika identik dengan rumus. Ini kompetensi yang seharusnya dimiliki guru.
Sekarang, dengan kondisi guru yang sebagian besar menjadi guru bukan karena panggilan suci menjadi pendidik, ditambah dengan perubahan IKIP menjadi universitas bisa dibayangkan runyamnya kompetensi guru. Itu belum lagi dengan melihat kenyataan atas kualitas kesarjanaan yang disandang guru.
Banyak guru yang memerolah gelar kesarjanaan asal-asalan. Sejak pemerintah mensyaratkan gelar sarjana, terutama bagi guru yang ingin memperoleh sertifikat profesi, bermunculan lembaga pendidikan tinggi yang memungkinkan siapa pun yang ingin menyandang gelar sarjana sesuai dengan persyaratan oleh ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam dunia pendidikan. Bahkan, terkesan menawarkan berbagai kemudahan bagi peminat yang ingin mendapatkan gelar kesarjanaan secara instan.
Selanjutnya, bisa diduga seberapa bagus mutu guru yang meraih gelar kesarjanaan dari lembaga abal-abal seperti itu. Guru harus mendapatkan pendidikan berkualitas yang dapat mengantarkan mereka menjadi guru kompeten. Tidak hanya mumpuni mengerjakan soal UKG, tetapi juga mumpuni seperti cara Yohanes Surya menerangkan fisika kepada siswa. Jika tidak : tak usah heran dengan kebodohan guru menyelesaikan soal UKG.
Pelatihan
Sekarang, dengan kenyataan guru seperti itu, pemerintah jangan hanya berkeluh kesah atas rendahnya kompetensi guru. Keluh kesah bukan solusi menyelesaikan masalah di depan mata.
Yang diperlukan adalah meng-upgrade kompetensi guru. Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) perlu menggalakkan pelatihan, baik bagi guru negeri maupun swasta yang bertujuan meningkatkan kompetensi mengajar guru.
Pelatihan peningkatan kompetensi guru harus dilaksanakan secara serius, tidak asal-asalan. Pengalaman selama ini, sering kali pelatihan yang diadakan Kemendiknas hanya sekadar acara seremonial: antara ada dan tiada. Banyak kali acara tersebut dipenggal, yang harusnya memakan waktu seminggu dipotong menjadi dua hari. Namun, ketika peserta menandatangani kehadiran, guru dipakasa menandatangani absen selama seminggu. Kebiasaan selama ini yang hanya melaksanakan pelatihan sekadar acara seremonial yang bertujuan menghabiskan anggaran proyek mestinya tidak terulang lagi.
Persoalan kompetensi guru merupakan tanggung jawab bersama, baik guru mapun pemerintah. Bukan sekadar memerintahkan guru menadatangani absensi acara pelatihan. Tapi, juga mendukung lahir dan batin agar guru bersemangat meningkatkan kompetensi profesi melalui acara pelatihan. Pihak kemendiknas seharusnya tetap berada di lokasi acara pelatihan guru sebagai bukti kebersamaan mereka dengan para guru. Ada terasa kebutuhan bersama agar standar kompetensi guru segera dimiliki guru.
Para guru terus-menerus memerlukan pendampingan nyata demi pemurnian motivasi keguruannya. Jangan seperti selama ini yang hanya beranggapan persoalan kompetensi guru harus diselesaikan sendiri. Kalau guru ingin berkompeten silahkan belajar sendiri. bukan seperti itu caranya. Persoalan ini adalah persoalan bersama. Jangan hanya menyalahkan guru!
Oleh Arfanda Siregar
Dosen Politeknik Negeri Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar